Gue menemukan artikel yang bagus banget di TitikDua.co, sebuah media online yang dioperasikan oleh mahasiswa DKV (Desain Komiunikasi Visual) Binus. Hal yang paling saya suka dari artikel Titik Dua ialah kualitas pertanyaan & artikel cukup mendalam untuk level mahasiswa. Tak heran sebab di bio twitter mereka menuliskan “Sebab mahasiswa desain selayaknya berpikir lebih dari sekedar pengoperasian perangkat lunak penata letak digital”.
Dan artikel yang berjudul “Sakti Makki: Penurunan Derajat Desain Grafis” ini membuat gue berpikir keras tentang desain grafis yang mana bidang ini gue geluti saat ini. Selamat menyimak:
Pada kesempatan kali ini, Titik Dua mengunjungi MakkiMakki Strategic Branding Consultant sebagai salah satu kegiatan dari studio visit yang diadakan oleh Tim Redaksi Titik Dua.
Sakti Makki selaku Founder & Creative Director di MakkiMakki menceritakan awal mula terbentuknya MakkiMakki, hingga berbagi pengalaman dengan topik “The Dark Side of Design Industry” yang menjadi tema tiga bulanan Redaksi Titik Dua kali ini.
Berikut adalah hasil perbincangannya :
Apa pandangan bapak sebelum terjun ke design industry?
Awalnya saya memilih major “Product Design” karena kecintaan saya terhadap konsep tata ruang, sedangkan istri saya memilih “Graphics Packaging”, atau sekarang yang lebih dikenal dengan DKV. Setelah memperoleh gelar sarjana, kami memutuskan untuk kembali ke Indonesia pada tahun 1992, dan memulai MakkiMakki bersama. “It’s a very strong and unique mixture of two expertises di satu kuadran yang sama, dan hal tersebut sangat dicari di Indonesia!”, yaitu dua pemimpin studio yang menyatukan desain produk dan desain packaging sebagai expertise kami. Contoh case study-nya adalah botol Frestea. Branding ditangani oleh istri saya, kemudian saya men-desain packaging botolnya.
Ketika baru lulus kuliah, saya hanya berpikir “Gimana cara men-design yang benar, dan ke siapa harus menjualnya?“. Namun sesungguhnya pelajaran tentang “Design Industry” barulah dimulai. Sebagai client pertama, menurut kami, Unilever adalah ‘sekolah yang luar biasa’, karena kita di-drill dengan sikap disiplin yang tinggi, terutama yang berhubungan dengan ‘brand building’,tentang bagaimana packaging menjadi identitas yang sangat penting bagi sebuah brand. Sampai akhirnya terjalin 10 tahun kerja sama, dan lebih dari 90% bisnis kita datang dari Unilever.
Lalu, apa pandangan bapak setelah terjun ke design industry?
Selama 25 tahun menggeluti “Design Industry”, saya mulai menyadari bahwa industri desain terutama di Indonesia itu mengalami ‘komoditisasi’. Apa itu komoditisasi? Ketika pada awalnyaindustri desain itu dinilai sesuatu yang premium – mereka rela membayar mahal untuk sebuah ide desain, konsep, dan gagasan, karena tidak banyak yang bisa memiliki skillnya, rate growth-nya luar biasa. Tetapi masalahnya sekarang, seiring berjalannya waktu design industry mengalami penurunan derajat, dari sesuatu yang premium, turun menjadi value for money. Hal ini disebabkan jumlah lulusan DKV yang mencapai 2.500 orang setiap semesternya dari seluruh Indonesia.
Namun, apakah mereka semua ‘bertahan’, dan sukses di design industry ini? Nyatanya, satu persatu dari mereka banyak yang berguguran. Satu persatu hilang, karena tidak bisa survivedalam competition. Dahulu kala, saya melihat industri desain itu sangat hopeful, namun sekarang, karena industri desain semakin turun ke level commodity, mau tidak mau kita harus memahami bahwa, your competition is a lot! Hal ini diperparah oleh user-nya sendiri, yang beranggapan bahwa ketika seseorang sudah mempunyai laptop, printer, dan scanner, artinya dia bisa disebut sebagai seorang “graphic designer”.
Pertanyaanya adalah bagaimana kita bisa survive dalam kompetisi di industri ini?
Ketika seorang client bisa berkata, “Loh kok kamu mahal banget ya? Saya hire orang lain aja deh, kan yang kayak kamu banyak?” Namun, nyatanya hal itu benar adanya, 2500 lulusan DKV tersebut akan membuat perusahaan baru yang akan menambah saingan baru setiap tahunnya. Sampai akhirnya client bisa berkata, “Kamu berapa? 10 juta? Kamu? 5 juta? Kamu? 3 juta? Yaudah kalo gitu saya sama kamu aja deh, 3 juta.” Ini lah bukti bahwa desain berada pada level komoditas.
Seorang desainer wajib memiliki personal branding.
Kita wajib menambahkan added value pada produk yang kita jual.
“Your creativity is no longer the added value. Your creativity is the product. And your product is not your brand. Your product is (just) your product. Definisi personal branding bagi seorang desainer adalah creativity (product) ditambah dengan added value masing-masing desainer.” jelas Sakti Makki.
Pada jaman saya, skill menggambar, kreativitas kita, masih bisa dianggap sebagai sebuah added value. Saya tidak perlu menjual apapun, saya hanya menjual kemampuan itu saja, and I can make money. Namun di masa kini, hal tersebut tidak bisa diterapkan lagi. Kompetitor asing masuk ke Indonesia, dan banyak membunuh perusahaan desain lokal. Jangan kira brand internasional masuk dengan harga lebih mahal, justru mereka masuk dengan harga yang lebih murah, dan bagaimana nasib perusahaan desain lokal?
Akan tetapi, menurut saya memang sudah sepantasnya para pemain lokal dihargai lebih mahal daripada pemain asing. Kenapa? Karena pemain lokal itu sendiri memiliki pengetahuan “lebih”tentang Indonesia yang tidak dimiliki oleh pemain dari luar. Seharusnya hal itu dapat menjadi your strategic competitive advantage. Namun dalam kenyataanya tidak. Industri kita bergeser, dari yang awalnya premium, menjadi commodity. Jadi, jika para pemain lokal ini tidak segera membangun added value dari brand mereka, maka konsumen akan melihat bahwa hasil yang dibuat oleh si A dan si B tidak ada bedanya, walaupun sesungguhnya tidak.
Saya tidak pernah menjual skill saya dalam mendesain. Tetapi saya menjual brand MakkiMakki, brand Sakti Makki, yaitu kemampuan saya dalam menjawab permasalahan.
Menurut saya, kekurangan insitusi pendidikan desain di Indonesia adalah kurangnya pendidikanproblem solving dalam desain. Mahasiswa cenderung diajarkan “beautification”, yaitu kemampuan mempercantik sesuatu. Padahal yang seharusnya dijadikan prioritas adalah kemampuan “problem solving”, apakah desain tersebut menjawab permasalahan yang ada?
Nah, desain yang dikatakan “bagus” atau “keren” ini yang menjadi sebuah pertanyaan. Bagus untuk SIAPA? Bagus bagi saya, bagi client atau bagus bagi target pasar? Jadi jika kalian membuat suatu desain, jangan hanya bertanya ke client – “Menurut bapak desainnya yang bagus yang mana pak?” itu adalah kesalahan yang sangat fatal.
Ada sebuah pelajaran yang saya dapatkan ketika melakukan riset bersama Unilever. Ketika saya bertanya ke target pasar itu sendiri tentang desain yang sudah saya dan client sepakati, dan telah kita anggap “bagus”, ternyata justru para konsumen berpikir bahwa desain itu “jelek”. Disitu saya belajar, bahwa saya harus bisa menangkap apa yang sebenarnya ada di pikiran konsumen.
Bisakah kita membuat suatu desain yang menurut saya, client dan konsumen dinilai “bagus”?
Hal ini bukan berarti kita harus “mengebiri” sense of taste kita sendiri. Tetapi kita harus mencari sebuah “titik temu”. Disinilah peran kita sebagai desainer untuk menggiring para konsumen dari kemauan client ke desain yang dapat menjadi problem solver mereka. Itulah yang saya pelajari, bahwa saya tidak bisa menjual desain tanpa added value. Jika desain itu menjadi komoditasnya, tambahkanlah added value diatasnya, dan hasil dari penggabungan ini disebut brand.
Apa hal yang ditakutkan oleh pelaku industri desain di Indonesia?
Menurut saya, yang paling utama adalah ketika client meragukan harga yang kita tetapkan, ketika dirasa terlalu tinggi. Yang kedua dan sangat mengkhawatirkan adalah, banyaknya pemain asing yang masuk ke Indonesia. Dalam kenyataanya, mereka masuk dengan harga rendah supaya desainer lokal akhirnya pada berguguran. Saat industri desainer lokal mulai berguguran, mau tidak mau para desainer lokal ini harus bekerja untuk desainer asing.
Saya merasa sangat beruntung, karena telah memasuki medan perang ini sejak 25 tahun yang lalu. Sejak awal MakkiMakki sudah sadar bahwa produk jasa desain adalah “produk komoditas”, dan kesadaran tersebut menyelamatkan kami untuk terus sustain di industri ini. Karena nyatanya terlalu banyak desainer yang tidak mau menerima fakta ini, dan terlalu sibuk memikirkan kemampuan mereka, dan “mengeksklusifkan” profesi desainer grafis. Seperti terlalu sibuk memikirkan “oh saya kan orang kreatif, mestinya saya harus dibayar sekian.” Lalu ketika ditanya oleh client, “Hah kok mahal ya? Bisa turun ga ya harganya?”
Pasti timbul kekecewaan yang mendalam, cenderung mental designer menjadi “down”.
Terkadang kita terlalu sibuk berpegang pada idealisme “ke-eksklusifan” seorang desainer. Sibuk berpikir keras, berjuang untuk “solve the problem”, tetapi dedikasi tersebut ternyata malah dibayarkan dengan ungkapan, “Mas, kok harganya mahal ya? Boleh diturunin ga harganya?”
Lalu, kenapa bisa terjadi perbedaan harga antara “new comers” yang baru memulai (pekerjaan mereka dibayar 5 juta sampai 10 juta per desain), dibandingkan dengan mereka yang sudah “estabilished” dalam industri ini, yang dalam satu kali jalan bisa mengkhasilkan 500 juta hingga 1 Milyar?
Perbedaannya bukan di produk atau di desainnya, tetapi di added value-nya. Bisa kah kita semua membangun hal tersebut? Sesuatu yang kalian miliki, namun orang lain tidak miliki. Jika kita hanya berpikir “saya bisa bikin desain style A”, kenyataannya banyak juga yang bisa membuat hal serupa. Bahkan bukan tidak mungkin, jika di masa depan nanti skill seorang desainer tergantikan dengan adanya artifical intellegence. Bisa jadi, suatu saat nanti kita hanya perlu “berbicara”kepada sebuah komputer untuk dibuatkan suatu logo brand.
So think ahead, apa added value yang dapat kalian tawarkan? Bungkus desain kalian dengan added value. Karena jika tidak, itu akan menjadi fear factor bagi kalian sendiri.
Berdasarkan 25 tahun menggeluti “Design Industry”, bagaimana cara terbaik untuk meyakinkan klien untuk membeli konsep dan desain kita?
“Speak in their language,” kalian harus tau terlebih dahulu yang siapa yang kalian ajak biacara. Apakah dia orang marketing, sales atau keuangan. Pelajari dulu latar belakangnya. Gunakanlah “bahasa yang sama” dengan dia. Jika kalian berusaha meyakinkan klien dengan bahasa desain, menjelaskan mengapa desain ini “bagus”, secara form, content, dan context, maka mereka tidak akan mengerti dan tidak peduli.
Mulailah menjelaskan dengan gaya bahasa mereka, dan mengambil pendekatan denganknowledge yang mereka miliki. Contohnya, ketika kita ingin menjual ke bagian keuangan atau marketing, bahaslah topik yang berhubungan dengan keuangan. “Pak, harga desain ini saya charge 10 juta, yang saya yakini kelak akan bernilai 50 juta untuk perusahaan bapak. Bagaimana caranya? Setelah melakukan riset dengan target audience, desain ini akan menaikkan frekuensi penjualan sebesar 5x dibandingkan desain yang lama. Ini lah bukti grafik riset kami.” Kaitkan dengan sales, dan kenaikan penjualan mereka sebagai dampak dari campaign ataupun rebrandingdesain yang kita kerjakan. Dengan gaya bahasa ini, mereka mengerti bagaimana cara menilai “desain yang bagus” dari kacamata mereka sendiri. Sangat penting untuk diingat, bahwa desain yang kita kerjakan harus meningkatkan “intention to buy” si target market dari brand tersebut. Kalau ditanya “Desainnya keren ngga? Keren. Desainnya bagus? Bagus. Tapi mau beli ngga? Engga”, maka disitu desain kalian tidak menyelesaikan masalah. Desain kalian harus bisa membuat mereka berkata, “ya, saya mau beli”. Get to know who you are talking to. Jangan pernah mulai dari kalian, tapi mulailah dari mereka.
Apa hal terburuk yang dapat dilakukan oleh seorang designer?
Menurut saya, yang pertama adalah ketika mengatakan “I am the Best”. Ketika kalian menganggap bahwa diri kalian yang paling hebat atau superior (above everybody else), justru hal itu akan membuat pertahanan diri kalian terancam. Karena begitu ada orang lain yang ternyata lebih baik daripada kita, maka pasti self-respect kita menjadi hancur.
Yang kedua adalah Egoism. Orang kreatif itu memiliki “ego” yang luar biasa besar, karenamereka merasa bahwa “saya bisa menciptakan ini”.
“Creativity itu sebenarnya tidak ada, this is the worst thing that you gonna do, to claim that you’re creative people. You are not creative people. We are not creative beings. Kita itu adalah spesies yang mampu untuk “connecting the dots”, jelas Sakti Makki.
Can you see the difference? Kita sebenarnya tidak punya guideline untuk menjadi kreatif, apabila kita tidak mempunyai brief. Apa yang dimaksud dengan “dots” tersebut? Dots yang dimaksud adalah batasan-batasan, masalah klien, dan juga oppotunity yang kita punya untuk menjawab permasalahan tersbut, yang umumnya kita sebut sebagai “creative brief”. Justru semakin banyak batasan yang kalian miliki, biasanya solusinya akan jauh lebih banyak. Ini adalah paradox yang sangat menarik, semakin banyak batasan yang kita miliki, maka kita akan semakin creative.Semakin kita tidak memiliki batasan, semakin kalian ga bisa ngapa-ngapain. You don’t know where to start.
Profesi kita adalah profesi komersil. Kita bukanlah seniman seperti painter. Dalam dunia komersil, kita akan diberikan brief. Kalian hanya akan bisa bekerja dan berfungsi kalau ada batasan – “brief”. Nah caranya gimana? “Connect the dots.” Semakin jelas petunjuk dari suatu brief, maka akan semakin efektif pula cara berpikir kita untuk menyelesaikan brief tersebut. The more dots you have, the better you can do. Jadi kemampuan manusia itu bukan berkreasi, namun connecting the dots.
Menurut bapak sendiri, pengorbanan terbesar seorang desainer dalam mengerjakan project design itu apa?
Menurut saya adalah waktu. Dulu saya bangga, jika saya tidak tidur berhari-hari. Rutinitas saya ketika mengerjakan suatu project desain, yaitu datang ke kantor jam 4 pagi, dan pulang jam 12 malam. “I thought that was a dedication,” tetapi saya akhirnya sadar bahwa “that was a stupidity,” karena semakin lama kalian menghabiskan waktu untuk mengerjakan desain, maka akan semakin terlihat pula “your incompetence.”
Dengan “stuck” dalam waktu yang begitu lama hanya untuk mengerjakan 1 desain, maka itu berarti “kalian tidak berkembang.” It doesn’t make sense. Jangan-jangan resources-nya kurang? Research-nya kurang? Atau mungkin “you explore too long?” Perlu diingat bahwa yang terpenting adalah kalian harus bisa “envision” —membayangkan hasil akhir design-nya akan seperti apa? Then get “there” faster.
Kita sering melakukan ini, “Ih kalo ditaruh di sini bagus juga ya? Atau di sini aja ya?” Akhirnya yang terjadi adalah kita “dwelling” —mempermasalahkan hal yang sama berulang-ulang, hanya memindah-mindahkankan “a few things.” Seharusnya kita bisa “picture it” terlebih dulu, desainnya akan menjadi seperti apa, lalu kemudian buatlah itu.
“Picture it first in your head, before you do it. Not ‘while you’re doing it, you picture it.’ Solve the problem first, then you create the form. Form follows function. If youare not effective from 9 to 5, then you’re not a good designer. You are wasting your time. I learn my mistake. How? Research better,” jelas Sakti Makki.
Sejauh mana kita boleh menerapkan referensi yang kita lihat, dalam karya kita sehingga tidak masuk dalam katagori “plagiat”?
Plagiat? What does exactly plagiarism means? Mencontoh atau menjiplak ya? Tapi menurut saya, berarti “mencuri.” Namun, jika kalian ingin menjadi orang yang kreatif, rajin rajinlah “mencuri.”Apa maksudnya “mencuri”? Mencuri dengan intelektualisme.
Analoginya seperti handphone, yang didalamnya terdapat berbagai macam perangkat yang masing masing juga memiliki “brand” mereka sendiri, namun ketika mereka “digabungkan”menjadi satu, benda tersebut dinamai “handphone”, dan yang dikenal adalah brand handphone-nya, bukan perangkat di dalamnya. Oleh karena itu, “curilah semuanya, jadikan satu kesatuan, and give it your own name.” Karena di dunia ini tidak ada hal yang benar benar baru, nothing. “There is nothing new under the sun.” Kita hanya me–refer kepada sesuatu yang telah kita ketahui bukan?
Perbedaanya dengan “menjiplak” adalah membuat yang sama persis seakan-akan sama dengan barang aslinya. You don’t do that. That’s not smart!
“The Secret to Creativity Is Knowing How to Hide Your Sources.” – Albert Einstein
Narasumber: Sakti Makki
Jurnalis: Maura Zulfa
Editor: Muhammad Ammar Farras
NB: Artikel ini gue repost di blog sebab hari ini saat gue akses website TitikDua.co sedang disuspend oleh hostingnya dan tidak tahu kapan bakal up lagi. Padahal kemarin masih bisa diakses. Ini masih bisa copy artikelnya karena kebetulan tab di browser pas kemarin gue buka masih belum gue tutup.
Update: 28 Mei 2018, website TitikDua.co sudah bisa diakses kembali.